Senin, 01 Juni 2020

Ambon Jantong Hati


Foto dokumen pribadi
Maluku.
Ambon, lebih tepatnya. Bagiku terasa entah dia ada apanya, kenapa bisa membuatku nyaman sejak pertama berjumpa.

Waktu itu, 17 April 2018. Penerbanganku ke Ambon seharusnya pada esok hari, dari Jogja via Surabaya. Tapi tiba-tiba dapat kabar bahwa penerbangan dibatalkan. Tim di kantorku langsung sigap menggantinya dengan tiket lain. Ada dua pilihan, berangkat malam hari via Jakarta, atau tetap tanggal 18 via Jakarta juga, dan mendarat di Ambon sore harinya.

Kupilih opsi pertama. Berangkat 17 April malam via Jakarta, dan tiba di Ambon keesokan hari sekitar pukul 06.00 WIT. Aku tidak akan menceritakan detil perjalanan di dalam pesawat karena sudah pasti isinya hanya akan tidur, tidur, dan tidur.

Ambon, turun dari pesawat.
Udara segar langsung membuatku jatuh hati. Baru kali itu kurasakan udara bersih yang benar-benar sanggup membuatku bingung yang bahagia. Nafas terasa sangat ringan hingga membuat senyum lebar otomatis terbentuk dari sudut bibir.

Singkatnya, meski waktu itu belum puas aku berkeliling, tapi entah kenapa hatiku sudah terpaut dengannya.

Selang satu tahun kemudian, kudapatkan dua kali kesempatan untuk kembali mengunjungi Ambon dengan durasi yang lebih lama. Cukup puas kunikmati atmosfernya yang menyenangkan, langitnya yang sulit ditebak. Berkeliling di pantai-pantainya nan elok, jalanan kotanya, kedai-kedai kopinya, makanan khasnya, juga bercengkerama dengan penduduk aslinya. Sialnya, hatiku malah terjatuh makin dalam lagi.

Kemudian aku jadi teringat pertanyaan bekas kekasih, “Dek, kelak setelah menikah, kamu ingin tinggal di mana?”. Dahulu, aku hanya bisa menjawab dengan “entah. Yang pasti aku ingin di daerah yang dekat pantai, banyak bukitnya, namun tetap dekat dengan kota.”

Empat tahun setelah kejadian itu, saat kuketik tulisan ini, sungguh aku sudah mendapat jawabannya: Ambon, untuk sesekali pulang ke Jogja. Dan tentu saja, bukan dengannya.