Bandar Udara Internasional Minangkabau, 26 Mei 2018 |
Dalam setahun terakhir aku
lebih banyak melakukan perjalanan daripada waktu-waktu sebelumnya. Dalam proses
perjalanan itu sering kali kutemui banyak orang baru dengan obrolan bermacam.
Kali ini ke Payakumbuh, Sumatera Barat. Kurang lebih tiga jam perjalanan darat dari Bandara Minangkabau di
hari ke-tujuh Bulan Ramadhan. Pesawat yg membawaku dari Jogja diharuskan
transit dahulu ke Jakarta. Sialnya, dari kedatangan kami harus pindah terminal.
Ya ndak terlalu jauh sih. Tp CGK bagi awam sepertiku cukup bikin pusing.
Apalagi dg hiruk pikuk manusianya.
Singkat cerita, aku sampai
di terminal yg dituju. Agak kebingungan awalnya, karena di pintu keberangkatan
hanya ada check in counter. Maka aku bertanya kepada petugas yg berjaga. Setelah
paham dengan arahan petugas, aku bergegas untuk menuju pintu keberangkatan. Namun
mataku tertuju pada sepasang manusia yg sudah sepuh. Usianya sekitar 70-an.
Mereka kebingungan. Aku bertanya apa yang mungkin bisa kubantu. Ternyata kasus
mereka sama sepertiku. Maka kulihat tiket yang mereka genggam. Kemudian kuajak untuk
bareng-bareng menuju gate kami.
Aku di Gate B3,
beliau berdua B5. Sama-sama harus ke atas terlebih dahulu. Hingga coretan ini
kuketik, aku masih sebal dengan diriku sendiri. Kenapa badanku kecil. Sambil jalan,
kami ngobrol tentang beberapa hal. Hingga akhirnya aku tahu pasangan suami
istri - yang juga asli Bantul - ini menuju Lampung untuk menemui anak mereka.
Sesampainya di depan
eskalator, Ibu meminta suaminya untuk membawakan kardus yang beliau bawa sehingga
Bapak harus menenteng satu tas besar dan kardus. Sedang barang bawaanku sendiri sudah cukup merepotkan.
Naik eskalator, ibu terjengkang.
Mungkin karena keserimpet gamisnya. Sontak aku teriak. Untungnya ada
bapak-bapak baik hati yg menolong Ibu sehingga aku bisa membantu suaminya. Ekspresi
Bapak berubah. Beliau jadi takut naik eskalator. Maka kutemani untuk naik tangga.
Pertanyaan berulang. Kenapa badanku harus sekecil ini?
Sampai di atas, kami
lanjutkan obrolan. Kupastikan kondisi Ibu baik-baik saja. Selanjutnya, mereka
bertanya mengenaiku. Mereka mengira aku masih sekolah di Jogja, kemudian akan
pulang ke Padang. Padahal Ya Allah Pak, Bu, sungguh teman-teman saya sudah pada
punya anak.
Aku ikut berbahagia ketika
tiap kali menatap mata mereka. Binar kebahagiaan tak bisa begitu saja disembunyikan. Hingga
akhirnya aku sadar. Lha aku tu cuma jagain Bapak dan Ibu yang baru kutemui saja,
gagal. Ibu terjatuh di eskalator. Bagaimana dengan orangtuaku sendiri yang selama ini
bersamaku? Ingat dg pernyataan beliau-beliau yang mengira aku masih sekolah,
sepertinya ungkapan 'orangtua akan selalu menganggap kita anak kecil mereka'
benar adanya. Melihat pancaran kebahagiaan karena akan segera bertemu anak, aku kembali jadi mikir 'apa selama ini aku sebagai anak terlalu menuruti keinginan diri
ya? Ingin membangun karir di sana, sana, atau sana. Mungkin orangtua bangga.
Mungkin orangtua (terlihat) berbahagia. Tapi mana ada yang tahu isi hatinya'.
Sepulang dari Sumatera Barat, kubagi cerita ini kepada kedua orangtuaku. Tanggapan mereka? "Lha kok ya anaknya tega to ngelepas orangtuanya begitu saja? Mbok yo dijemput bentar mosok ndak bisa ijin dari kerjaan?". Dheg. Makin remuk saja perasaanku mendengarnya.
Salam.