Pantai Tanjung Pesona, Bangka. |
Meski sangat telat, namun sebagai seorang perempuan yang
tingggal beberapa bulan lagi akan memasuki usia 23, saya jadi banyak bertanya
mengenai arti kedewasaan. Hal ini didasari oleh beberapa kawan yang sudah lepas
dari masa lajang, sebentar lagi dipinang, juga beberapa yang sudah pasti kapan
akan naik pelaminan. Saya sendiri masih belum ada gambaran kapan ingin dilamar
oleh sang pujaan. Kemudian, orang-orang disekitar beranggapan bahwa saya sama
sekali tidak memiliki sikap layaknya orang dewasa. Lhoh, kok ngono?
Emangnya dewasa hanya bisa diukur dari keinginan untuk segera menikah?
Menurutku sih enggak.
Lalu kemudian, yang lucunya lagi adalah orang-orang yang tak
mengerti tentang kisah yang saya alami, seenak udel menjustifikasi kalau saya
selingkuh, mendua, selengki, atau apalah itu namanya yang masuk ke dalam
kategori tidak dewasa dalam menjalin hubungan. Lha wong kamu ndak tau kisah
saya, ujug-ujug ngasih justifikasi demikian, itu to yang
dinamakan dewasa?
Jarak. Ini juga lucu menurut saya. Dulu memang beberapa kali
saya membaca meme tentang hubungan yang dewasa. Katanya jarak yang jauh dengan
pasangan tentu akan menjadi pertimbangan para orang dewasa. Teman-teman
menelannya secara mentah-mentah. Sedangkan bagi saya, jarak akan menjadi
masalah saat kedua manusia yang menjalin hubungan ini sudah menapaki hubungan
yang halal, sah secara agama maupun negara. Dan sekarang, hanya karena saya
kembali menjalin hubungan jarak jauh (dengan beda orang dari yg sebelumnya dan
jaraknya lebih jauh), ada banyak yg berpendapat bahwa ini hanya salah satu cara
saya agar tidak konangan saat menjalin hubungan dengan lelaki lain di
sini. Cerdas sekali! Orang tua dan orang-orang yang selalu saya mintai nasihat
setuju dengan hubungan kami, malah mereka suka. Lalu apa yang harus saya
permasalahkan? Lagian, mana ada orang yang mau berjauhan dari pasangannya? Itu
lagi to yang disebut dewasa? Menelan mentah-mentah informasi yang masuk?
Lalu ada lagi banyak teman yang berpendapat dalam menjalin
hubungan yang dewasa dengan lawan jenis harus dengan ciuman, makeout atau
apalah itu yang lainnya. Bagi saya, makin dewasa harusnya kan makin paham sama
tanggung jawab terhadap tubuh sendiri, ya? Apalagi bagi kita para perempuan.
Hhmmm tubuhmu yang kau persilahkan diakses pasangan belum halalmu itu bisa jadi
yang mendekatkan neraka kepada Bapakmu lho. Seyem kan? Na’udzubillahimindzalik.
Sesungguhnya, yang kita bangga-banggakan dari kata dewasa itu
apa? Berani nikah? Berani menjustifikasi orang semau sendiri? Berani berciuman?
Atau apa? Coba deh, mari kita pikirkan lagi. Jadi dewasa itu menyebalkan, jadi
dewasa itu tidak mudah, dan yang pasti jadi dewasa tak sesempit itu. Bagi saya,
jadi dewasa adalah bagaimana kita bisa menghargai pilihan orang lain dan membahagiakan
orang-orang yang menyayangi kita terlebih dahulu. Kalau bahagia mereka dengan
mlihat kita menikah, ya mau gimana lagi. Kalau bagi mereka bahagia adalah
melihat kita memberi justifikasi sembarangan kepada orang lain, ya lakukan
saja. Kalau bagi mereka bahagia adalah melihat kita seenaknya saling akses
tubuh dengan pasangan yang belum halal, ya monggo-monggo saja.
Tapi untungnya keluarga dan orang-orang di sekitar saya tidak demikian. Mereka
bahagia bila melihat saya sukses, bermanfaat bagi sekitar, dan mendapat pasangan
yang baik, tentunya.
*)coretan ini ditulis pada pertengahan 2016