Senin, 29 Januari 2018

Sebenarnya, Dewasa Itu Apa?


Pantai Tanjung Pesona, Bangka.


Meski sangat telat, namun sebagai seorang perempuan yang tingggal beberapa bulan lagi akan memasuki usia 23, saya jadi banyak bertanya mengenai arti kedewasaan. Hal ini didasari oleh beberapa kawan yang sudah lepas dari masa lajang, sebentar lagi dipinang, juga beberapa yang sudah pasti kapan akan naik pelaminan. Saya sendiri masih belum ada gambaran kapan ingin dilamar oleh sang pujaan. Kemudian, orang-orang disekitar beranggapan bahwa saya sama sekali tidak memiliki sikap layaknya orang dewasa. Lhoh, kok ngono? Emangnya dewasa hanya bisa diukur dari keinginan untuk segera menikah? Menurutku sih enggak.

Lalu kemudian, yang lucunya lagi adalah orang-orang yang tak mengerti tentang kisah yang saya alami, seenak udel menjustifikasi kalau saya selingkuh, mendua, selengki, atau apalah itu namanya yang masuk ke dalam kategori tidak dewasa dalam menjalin hubungan. Lha wong kamu ndak tau kisah saya, ujug-ujug ngasih justifikasi demikian, itu to yang dinamakan dewasa?

Jarak. Ini juga lucu menurut saya. Dulu memang beberapa kali saya membaca meme tentang hubungan yang dewasa. Katanya jarak yang jauh dengan pasangan tentu akan menjadi pertimbangan para orang dewasa. Teman-teman menelannya secara mentah-mentah. Sedangkan bagi saya, jarak akan menjadi masalah saat kedua manusia yang menjalin hubungan ini sudah menapaki hubungan yang halal, sah secara agama maupun negara. Dan sekarang, hanya karena saya kembali menjalin hubungan jarak jauh (dengan beda orang dari yg sebelumnya dan jaraknya lebih jauh), ada banyak yg berpendapat bahwa ini hanya salah satu cara saya agar tidak konangan saat menjalin hubungan dengan lelaki lain di sini. Cerdas sekali! Orang tua dan orang-orang yang selalu saya mintai nasihat setuju dengan hubungan kami, malah mereka suka. Lalu apa yang harus saya permasalahkan? Lagian, mana ada orang yang mau berjauhan dari pasangannya? Itu lagi to yang disebut dewasa? Menelan mentah-mentah informasi yang masuk?

Lalu ada lagi banyak teman yang berpendapat dalam menjalin hubungan yang dewasa dengan lawan jenis harus dengan ciuman, makeout atau apalah itu yang lainnya. Bagi saya, makin dewasa harusnya kan makin paham sama tanggung jawab terhadap tubuh sendiri, ya? Apalagi bagi kita para perempuan. Hhmmm tubuhmu yang kau persilahkan diakses pasangan belum halalmu itu bisa jadi yang mendekatkan neraka kepada Bapakmu lho. Seyem kan? Na’udzubillahimindzalik.

Sesungguhnya, yang kita bangga-banggakan dari kata dewasa itu apa? Berani nikah? Berani menjustifikasi orang semau sendiri? Berani berciuman? Atau apa? Coba deh, mari kita pikirkan lagi. Jadi dewasa itu menyebalkan, jadi dewasa itu tidak mudah, dan yang pasti jadi dewasa tak sesempit itu. Bagi saya, jadi dewasa adalah bagaimana kita bisa menghargai pilihan orang lain dan membahagiakan orang-orang yang menyayangi kita terlebih dahulu. Kalau bahagia mereka dengan mlihat kita menikah, ya mau gimana lagi. Kalau bagi mereka bahagia adalah melihat kita memberi justifikasi sembarangan kepada orang lain, ya lakukan saja. Kalau bagi mereka bahagia adalah melihat kita seenaknya saling akses tubuh dengan pasangan yang belum halal, ya monggo-monggo saja. Tapi untungnya keluarga dan orang-orang di sekitar saya tidak demikian. Mereka bahagia bila melihat saya sukses, bermanfaat bagi sekitar, dan mendapat pasangan yang baik, tentunya.  

Mungkin memang saya belum bisa bersikap dewasa, tapi tolong rangkul saya, ingatkan saya. Bukan hanya menuntut lalu menjustifikasi saya. Kalau kita belum bisa meredam ego masingmasing, sepertinya perlu bagi kita untuk sejenak merenung, berfikir, dan belajar lagi tentang kedewasaan. Karena menjadi dewasa susah dan menyebalkan, maka dari itu saya masih suka bersikap kekanakkan. Alasannya agar saya tetap mudah berbahagia dengan banyak hal kecil yang saya miliki dan jumpai. Meski seringnya malah kebablasan. Salam.*

*)coretan ini ditulis pada pertengahan 2016