Minggu, 30 Juli 2017

Tangisan Mbah Kung dan Pikiran Ngglambyar Saya



Mbah Kung yang sedang menangis dengan Ipul di sampingnya

Malam ini saya iseng membuka galeri foto di ponsel. Belum genap empat bulan ponsel itu saya miliki, sudah ada sekitar 1500 momen yang sempat terabadikan. Salah satunya adalah ketika Mbah Kung kami yang tinggal di Purworejo menangis lebaran kemarin.

Sudah menjadi tradisi bagi keluarga besar kami, saat lebaran hari kedua untuk mengunjungi beliau. Sebenarnya, Simbah bukanlah orangtua dari Bapak saya dan mbakyu-mbakyunya. Melainkan pakliknya Bapak dan anggota geng lainnya. Singkat cerita, saya dan adik yg sekarang usianya 17 tahun tiba lebih dahulu di rumah beliau. Sedangkan rombongan pawai mobil masih terjebak kemacetan di Jalan Jogja-Purworejo. Kebiasaan kami—cucu-cucu beliau yang bandel ini adalah tidak pernah mau langsung masuk rumah hanya agar Mbah Kung keluar dan memeluk kami untuk segera digiring masuk. Namun ada yang berbeda kemarin. Hampir sepuluh menit kami di luar dan Mbah Kung hanya memandangi kami dengan tatapan heran dari dalam rumah.

Mbak, ayo mlebu”, kata Ipul adikku. Namun saya tetap ngotot nunggu di halaman. “simbah ki saiki wis bedo, Mbak. Wingi sakdurunge Ramadhan diterke Om Istu karo Mbah Putri nyekar nang Bantul. Sing dikenali mung Bapak”, katanya. Terus terang saya kaget. Saya ndak tahu Simbah ke Bantul karena terlalu asyik nguli (maafkan cucumu, Mbah). Buru-buru kami masuk ke rumah. “Kalian siapa?”, tanya beliau kepada kami.

Setelah perlahan kami jelaskan siapa kami, tangis Mbah Kung pecah begitu saja. Beliau berkali-kali meminta maaf kepada kami untuk daya ingatnya yang sudah jauh menurun. Dheg. Mbah Putri yang ada di samping saya kemudian cerita macam-macam mengenai kesehatan Mbah Kung akhir-akhir ini. Mbah Kung sering rewel minta diantar ke Bantul, nyari Sardi (Bapak saya). Saat rombongan lain belum tiba, Mbah Kung tak henti bertanya di mana Bapak. Beliau berfikir kami berbohong mengenai kedatangan Bapak.

Sampai saat ini saya jadi sering kepikiran. Bagaimana respon kita kelak saat perlahan indera yang ada di tubuh perlahan dikurangi fungsinya oleh Sang Pemilik Hidup? Atau begini, jangan berfikir terlalu jauh. Siapkah kita saat orangtua yang sangat kita sayangi perlahan kekuatan dan fungsi masing-masing bagian tubuhnya makin berkurang? Bisakah kita ngladeni orang-orang terhebat dalam hidup kita tersebut dengan sabar? Atau siapkah kita dengan segala perasaan bersalah bila tidak sanggup mempersembahkan hidup kita di hari tua mereka karena pekerjaan ataupun hal-hal duniawi lain yang mengharuskan hidup berjauhan dengan orangtua?

Bagi saya, ketakutan terbesar dalam jangka waktu terdekat adalah pernikahan. Kita tidak pernah tahu jalan hidup seperti apa yang akan dihadapi kelak. Bisa jadi pasangan saya diharuskan tinggal di luar kota yang berjauhan dengan orangtua. Dan saya perempuan. Apalagi saya perempuan. Bagaimanapun setelah menikah, selama benar saya harus menuruti perintah suami.

Hmmm.... Saya rasa pada akhirnya sebagai anak yang bisa kita lakukan adalah selalu mendoakan dan belajar tetap berlaku baik agar bisa menjadi penyejuk di dunia maupun akhirat bagi orangtua masing-masing. Semoga kita dan keluarga selalu diberi limpahan kesehatan oleh Sang Maha Kasih. Aamiin