Mbah Kung yang sedang menangis dengan Ipul di sampingnya |
Malam ini saya iseng membuka galeri foto di ponsel. Belum
genap empat bulan ponsel itu saya miliki, sudah ada sekitar 1500 momen yang
sempat terabadikan. Salah satunya adalah ketika Mbah Kung kami yang tinggal di
Purworejo menangis lebaran kemarin.
Sudah menjadi tradisi bagi keluarga besar kami, saat lebaran
hari kedua untuk mengunjungi beliau. Sebenarnya, Simbah bukanlah orangtua dari
Bapak saya dan mbakyu-mbakyunya. Melainkan pakliknya Bapak dan
anggota geng lainnya. Singkat cerita, saya dan adik yg sekarang usianya 17
tahun tiba lebih dahulu di rumah beliau. Sedangkan rombongan pawai mobil masih
terjebak kemacetan di Jalan Jogja-Purworejo. Kebiasaan kami—cucu-cucu beliau
yang bandel ini adalah tidak pernah mau langsung masuk rumah hanya agar Mbah Kung
keluar dan memeluk kami untuk segera digiring masuk. Namun ada yang berbeda
kemarin. Hampir sepuluh menit kami di luar dan Mbah Kung hanya memandangi kami
dengan tatapan heran dari dalam rumah.
“Mbak, ayo mlebu”, kata Ipul adikku. Namun saya tetap
ngotot nunggu di halaman. “simbah ki saiki wis bedo, Mbak. Wingi sakdurunge
Ramadhan diterke Om Istu karo Mbah Putri nyekar nang Bantul. Sing dikenali mung
Bapak”, katanya. Terus terang saya kaget. Saya ndak tahu Simbah ke Bantul
karena terlalu asyik nguli (maafkan cucumu, Mbah). Buru-buru kami masuk ke
rumah. “Kalian siapa?”, tanya beliau kepada kami.
Setelah perlahan kami jelaskan siapa kami, tangis Mbah Kung pecah begitu saja. Beliau berkali-kali meminta maaf kepada kami untuk daya ingatnya
yang sudah jauh menurun. Dheg. Mbah Putri yang ada di samping saya
kemudian cerita macam-macam mengenai kesehatan Mbah Kung akhir-akhir ini. Mbah
Kung sering rewel minta diantar ke Bantul, nyari Sardi (Bapak saya). Saat
rombongan lain belum tiba, Mbah Kung tak henti bertanya di mana Bapak. Beliau
berfikir kami berbohong mengenai kedatangan Bapak.
Sampai saat ini saya jadi sering kepikiran. Bagaimana respon
kita kelak saat perlahan indera yang ada di tubuh perlahan dikurangi fungsinya
oleh Sang Pemilik Hidup? Atau begini, jangan berfikir terlalu jauh. Siapkah
kita saat orangtua yang sangat kita sayangi perlahan kekuatan dan fungsi
masing-masing bagian tubuhnya makin berkurang? Bisakah kita ngladeni
orang-orang terhebat dalam hidup kita tersebut dengan sabar? Atau siapkah kita
dengan segala perasaan bersalah bila tidak sanggup mempersembahkan hidup kita
di hari tua mereka karena pekerjaan ataupun hal-hal duniawi lain yang
mengharuskan hidup berjauhan dengan orangtua?
Bagi saya, ketakutan terbesar dalam jangka waktu terdekat adalah
pernikahan. Kita tidak pernah tahu jalan hidup seperti apa yang akan dihadapi
kelak. Bisa jadi pasangan saya diharuskan tinggal di luar kota yang berjauhan
dengan orangtua. Dan saya perempuan. Apalagi saya perempuan. Bagaimanapun
setelah menikah, selama benar saya harus menuruti perintah suami.
Hmmm.... Saya rasa pada akhirnya sebagai anak yang bisa kita
lakukan adalah selalu mendoakan dan belajar tetap berlaku baik agar bisa
menjadi penyejuk di dunia maupun akhirat bagi orangtua masing-masing. Semoga
kita dan keluarga selalu diberi limpahan kesehatan oleh Sang Maha Kasih.
Aamiin