Sabtu, 21 Februari 2015

Tentang Puh Sarang dan Pelajaran Toleransi dalam Beragama



Saat sedang mengetik bahan postingan ini, saya sembari berpikir mengapa saya yang notabene seorang perempuan bisa memiliki hasrat yang tinggi untuk berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain (tidak untuk masalah hati, eeaaakk). Entah untuk waktu yang agak lama ataupun hanya sekedar untuk melihat kebudayaan, pemandangan baru, serta cara hidup masyarakat di daerah tersebut yang pastinya berbeda dengan yang saya miliki. Bisa jadi hal ini dilatar belakangi oleh masa kecil saya banyak dimomong oleh Mbah Mangun yang sangat protektif terhadap cucu perempuannya yang masa kecilnya mirip anak bule (ini suwerrr, tp entah mengapa makin besar makin nggilani). Sehingga saat saya mulai tahu kehidupan di luar rumah, makin naik pulalah keingintahuan terhadapnya.
Lalu saat bersekolah, saya tidak pernah memiliki satupun teman sekelas yang memeluk kepercayaan berbeda dengan yang saya miliki. Sehingga keingin tahuan saya tidak berbalas sama sekali. Akhirnya, salah satu teman tidur di ma’had dahulu; Ifa mengajak saya mudik ke Kediri pada akhir Februari 2015. Dari Malang, kami memutuskan untuk mampir ke salah satu Gereja terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah Ifa di daerah Ngadiluwih. Puh Sarang, Goa Maria Puh Sarang. Begitulah tempat ibadah ini sering disebut oleh masyarakat sekitar.
di depan gereja. unik kan? atau saya yang baru sekali masuk gereja saja ya? hehe
Sesampainya di kawasan Gereja tersebut, dengan membayar retribusi sebesar Rp 1.500,- dan parkir Rp 2.000,- kami disambut oleh suasana yang sangat tenang ditambah dengan kicauan burung liar. Menambah syahdunya suasana (awas Baper). Banyak pepohonan rimbun yang terdapat di kawasan Gereja Puh Sarang. Model bangunan yang digunakan juga sangat unik dengan atap melengkung-lengkung dan dinding yang terbuat dari batuan kali utuh lalu diusun satu persatu dengan semen sebagai pelekatnya sehingga menjadi dinding unik. Penggunaan bahan ini juga yang sepertinya menambah kesejukan bangunan tersebut. Atap unik yang bentuknya bisa melengkung-lengkung ini disebabkan oleh rangka atap yang biasanya menggunakan kayu diganti dengan bambu sehingga lebih fleksibel untuk dibentuk sesuai konsep yang diambil. Oh iya, memasuki Puh Sarang membuat saya merasa seperti terbawa ke daerah lain di Indonesia. Semacam Manado, mungkin (atau bisa jadi ini hanyalah hasil imaji yang terlalu liar). 
atap yang di atas itu melengkung-lengkung. tp maap gambar tidak detail hehee
Memasuki kawasan Gereja ini lebih dalam, kita akan menjumpai pasar di kiri kanan jalan yang menjajakan berbagai macam kebutuhan beribadah dan juga berbagai jenis buah tangan. Di ujung pasar, merupakan Goa Maria yang menjadi tempat utama untuk berdoa bagi para jemaat. Di area ini, ketenangan makin terasa sehingga sangat kondusif untuk melakukan ibadah.
ada pohon beringinnya juga. Jelas sejuk dan rindang!
salah satu cerita perjalanan salib Yesus Kristus. saya lupa ini pas bagian apa, yang pasti ada banyak statue di jalan salib ini.
Di sekitar Goa terdapat sebuah jalan yang di sepanjang jalannya merupakan statue yang bercerita mengenai perjalanan Salib Yesus Kristus. I love being on this place. Mulai dari suasana yang sangat kondusif untuk beribadah plus menyatu dengan alam, hingga para jemaat yang sedang beribadah sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran kami yang jelas terlihat memiliki kepercayaan yang berbeda dengan mereka. Atau dengan kata lain, toleransi yang mereka miliki sangatlah tinggi. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan saudara-saudara kami yang memiliki kepercayaan sama dengan saya yang tak jarang suka serta merta menghujat dan meyakini bahwa dirinya yang paling benar tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan saling menghargai. Terimakasih Puh Sarang untuk pelajaran berharganya. Next, ada yang mau menemani saya berkunjung ke Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran?